15 Februari 2013

Bukit dan Batu

       Aku menanjaki jalan berliku itu menuju ke Bukit diikuti oleh 2 orang sahabatku, seorang pria dengan pakaian rapi dan membawa tas penuh tanaman-tanaman obat sedangkan seorang lagi pria berpakaian serba gelap ditambah jubah gelap yang menutupi seluruh tubuhnya terutama wajahnya, tampaknya ia tak ingin orang lain melihat wajahnya, termasuk aku sahabatnya sejak kecil.

      Di atas bukit itu, terbentang pemandangan alam yang indah laksana surga telah turun di dunia, tetapi bukan itu tujuanku berada di sini. Di ikuti oleh 2 sahabatku, aku menghampiri sebuah batu tampak sengaja diletakkan di situ. Aku segera membersihkan batu itu dibantu oleh 2 sahabatku hingga kami dapat membaca ukiran di atas batu itu.

      Kata-kata di atas batu itu selalu menggetarkan hatiku setiap aku membacanya. Pikiranku melayang ke peristiwa 8 tahun yang lalu, yang sangat berkesan bagiku walaupun aku samar-samar mengingatnya. Aku lah yang mengukir batu itu agar aku selalu kembali ke bukit sambil berharap orang yang tertulis di atas batu itu kembali tetapi,... hingga hari ini, 8 tahun sejak peristiwa itu, harapanku hanya sebuah harapan kosong. Orang itu tak pernah
menampakan dirinya seperti memoriku tentangnya yang mulai memudar.

      Di tengah lamunanku, seorang sahabatku yang berpakaian rapi  memperingatkan bahwa gerhana matahari akan terjadi sebentar lagi. Menurut tradisi, jika doa diucapkan saat gerhana matahari, maka doa itu akan segera dikabulkan. Kami mempercayai hal itu dan untuk tujuan itulah mereka berdua berada di bukit ini menemani aku yang biasanya jatuh sendiri dalam lamunan saat memandang batu itu sendirian.

      Sang rembulan mulai menutupi sang surya. kami memejamkan mata kami, dan kawanku yang berpakaian rapi mulai mengucapkan doa tentang cita-citanya menjadi seorang dokter yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Kawanku yang berjubah gelap pun mengucapkan doanya walau pun ia sedikit ragu dalam mengucapkan kata-kata dalam doanya. Saat giliranku tiba, aku teringat kata-kata diatas batu itu. Keinginan terbesar tetap sama... yaitu bertemu dengan orang itu... orang yang sangat aku kagumi walau pun bayangnya semakin samar setiap aku melalui jalan hidupku.

      Akhirnya doa itu terucap... tetapi bukan doa untuk bertemu dengan orang itu. Aku berdoa demi kedamaian abadi bagi  desaku, dan terutama kedamaian dalam hidupku. Walaupun saat ini desaku sangat damai, tapi banyaknya kekacauan di dunia ini membuatku khawatir bahwa kedamaian akan terenggut dari desaku ini termasuk kedamaian hidupku bersama sahabat-sahabatku.

      Kedua sahabatku terheran-heran dengan doaku karena sebagai sahabat dari kami kanak-kanak, mereka sangat tahu kalau aku merindukan orang itu. Aku meyakinkan mereka bahwa kedamaian desa lebih penting daripada orang itu yang perlahan mulai menghilang bayangnya dari hatiku. Mereka hanya diam memandangku seolah-olah mereka tahu bahwa aku sedang menutupi isi hatiku sebenarnya.

       Sebelum kembali ke desa, aku memandangi batu itu sekali lagi lalu ku memandang sekitar bukit itu termasuk desaku di bawah bukit ini. Tiba-tiba ledakan besar terjadi di belakangku dan melemparkan aku beberapa kaki. Dengan kesakitan, aku berusaha bangkit dan melihat apa yang terjadi. tetapi debu tebal menutupi pandangan mataku. Kedua sahabatku tampak juga berusaha menahan sakit mereka. Seperti aku, Mereka berusaha bangkit berdiri untuk menghapus keheranan kami terhadap peristiwa yang mengejutkan ini.
Perlahan debu tebal mulai menghilang... dan tampak sesosok wanita yang terbaring tak sadarkan diri. Dengan tertatih-tatih, kedua sahabatku menghampiri sosok itu.

       Aku hanya berdiri diam... dalam hatiku terdalam, aku merasa jika... peristiwa ini adalah awal dari segala peristiwa yang mungkin akan merenggut semua yang aku inginkan... termasuk kedamaian desaku dan juga sahabat-sahabatku.