23 April 2016

Sang Guru dan Raja yang berdusta

Dorna sungguh dasyat. meski pun seperti seorang renta tetapi kekuatannya sanggup membuat bala tentara Pandawa kocar-kacir. Maka dengan terpaksa, Pandawa harus menjalankan taktik rahasia yang dipersiapkan untuk melawan guru mereka sendiri.
Semua ksatria tahu, bahwa motivasi Resi Dorna terjun berperang di Bharatayudha adalah karena anaknya, Aswatama membela para Kurawa. Karena rasa kasihnya kepada sang Putra, sang guru yang sebenarnya ingin menengahi perselisihan kedua saudara terpaksa memihak pada Pihak Kurawa. Apabila Aswatama tewas, maka sang guru pun akan kehilangan semangat hidupnya.

Taktik pun dilaksanakan. Bima membunuh seekor Gajah bernama Asuatama lalu berteriak dengan lantang memberitakan kematian itu ke seluruh gelanggang Bharata yudha.

Teriakan itu terdengar oleh resi Dorna sehingga ia menghentikan serangan dan menghampiri setiap ksatria yang ditemuinya untuk meminta kebenaran akan kabar kematian putranya, Aswatama. Semua ksatria termasuk Arjuna, Nakula dan Sadewa membenarkan kabar itu, tetapi sang guru Dorna belum percaya. Ia segera menemui Yudistira, Sulung Pandawa yang terkenal karena kejujurannya, dan jauh dari dusta. Resi Dorna sangat percaya akan segala perkataan Yudistira.

Tanya sang guru kepada Raja Yudistira:" wahai raja Yudistira yang terhormat, dan murid eyang guru yang termashyur akan keluhuran budi, kejujuran dan selalu berada jalan kebenaran. Eyang guru ingin menanyakan kebenaran atas kabar kematian Aswatama, putra eyang?"

Yudhistira tampak ragu menjawab... pikirannya saling bertentangan antara kemenangan Pandawa atau teguh pada kejujuran seperti yang selama ini dia pegang. Saudara-saudaranya, dan para ksatrianya sebelumnya telah mendesaknya untuk berdusta, demi kemenangan Pandawa. Demi tujuan yang lebih besar, akhirnya jawab Yudistira, "Benar, eyang guru... Aswatama telah gugur". lanjut Yudistira dengan lirih agar tidak terdengar oleh sang guru, Dorna;" entah manusia atau gajah"

Sang Guru pun lunglai, kekuatan yang selama ini banggakan seakan hilang. Ia pun menangis meratapi kematian Aswatama. Dari kejauhan, Yudistira hanya tertunduk. Hatinya sangat perih dan sedih karena telah mendustai guru yang selama ini mempercayai kejujurannya lebih dari siapa pun.
Dorna masih meratap... bulir-bulir air mata masih membasahi pipi nya tetapi ratapan kali ini tanpa ada suara. Tanpa diketahui siapa pun, hati Dorna meratap sangat deras, " Oh Yudistira... kenapa... kenapa... engkau harus mendustaiku demi sebuah kemenangan? Dari keraguan hatimu, walau sejenak aku bisa melihat bagaimana dirimu bergumul dan akhirnya dengan berat hati meninggalkan jalan kebenaran dan kejujuran yang eyang banggakan darimu... Oh Yudistira ketahuilah bahwa Aswatama itu memang putraku. Darah kami memang satu tetapi bagiku engkau lah putraku yang sejati... engkau selalu kubanggakan, engkau selalu kupercaya, setiap perkataanmu yang selalu berdasarkan kebenaran dan kejujuran itu tak pernah aku temui ada pada siapa pun selama aku hidup di dunia ini... Oh Dewata Agung cabutlah nyawa orang tua ini... aku lebih rela mati mengorbankan nyawa daripada melihat putraku yang kubanggakan makin terjerumus dalam dusta."

Dorna pun mengambil sikap tapa. Dan detik itu pula nyawa sang guru menghadap sang dewata. Sebelum kepalanya ditebas oleh Drestajumena yang membalaskan kematian ayahnya prabu Drupada